Beranda

Dampak Mie Instan


Mie Instan

Mie Instan

Para penggemar Mi Instan. Pastikan Anda punya selang waktu paling tidak 3 (tiga) hari setelah Anda mengkonsumsi Mi Instan jika Anda akan mengkonsumsinya lagi.
Informasi kedokteran bahwa ternyata tedapat lilin yang melapisi mi instan. Itu Sebabnya mengapa Mi Instan tidak lengket satu sama lainnya ketika dimasak.
Jika kita perhatikan Mi China yang berwarna kuning yang biasa ditemukan di pasar, dari hasil pengamatan, mi yang belum dimasak tersebut akan terlihat seperti berminyak. Lapisan minyak ini akan menghindari lengke tnya mi tersebut satu dengan lainnya.

Mi Wonton yang masih mentah biasanya ditaburkan tepung agar terhindar dari lengket. Ketika tukang masak akan memasak mi, dia memasaknya pertama-tama dalam air panas, kemudian dibilas / ditiriskan dengan air dingin sebelum dimasak dengan air panas lagi. Memasak dan meniriskan dengan cara ini akan dapat menghindari lengketnya mi tersebut satu sama lainnya. Tukang masak memberikan minyak dan saos pada mi tersebut agar tidak menjadi lengket ketika akan dikonsumsi secara kering (tanpa kuah).

Aturan masak dalam membuat Spaghetti (Mi Italy) akan dibutuhkan minyak dan mentega yang ditambahkan terlebih dahulu pada air rebusan Spaghetti untuk menghindari lengketnya pasta tersebut. Konsumsi mie instan setiap hari akan meningkatkan kemungkinan seseorang terjangkiti kanker. aktor SBC (sekarang TCS) pada beberapa tahun yang lalu, karena begitu sibuknya dalam berkarir sehingga tidak punya waktu lagi untuk memasak, sehingga diputuskannya untuk mengkonsumsi Mi Instan setiap hari.
Akhirnya dia menderita kanker.
Dokternya mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena adanya lilin dalam mi instan tersebut. Dokter tersebut mengatakan bahwa tubuh kita memerlukan waktu lebih dari 2 (dua) hari untuk membersihkan lilin tersebut.

Ada seorang pramugari SIA (Singapore Air) yang setelah berhenti dan kemudian menjadi seorang ibu rumah tangga, tidak memasak tetapi hampir selalu mengkonsumsi mi instan setiap kali dia makan. Kemudian akhirnya menderita kanker dan meninggal karenanya.

BAHAYA DIBALIK KEMASAN MAKANAN
Kemasan makanan merupakan bagian dari makanan yang sehari-hari kita konsumsi. Bagi sebagian besar orang, kemasan makanan hanya sekadar bungkus makanan dan cenderung dianggap sebagai “pelindung” makanan. Sebetulnya tidak tepat begitu, tergantung jenis bahan kemasan. Sebaiknya mulai sekarang Anda cermat memiliki kemasan makanan.
Kemasan pada makanan mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan, kem udahan, penyeragaman, promosi dan informasi. Ada begitu banyak bahan yang digunakan sebagai pengemas primer pada makanan, yaitu kemasan yang bersentuhan langsung dengan makanan. Tetapi tidak semua bahan ini aman bagi makanan yang dikemasnya. Inilah ranking teratas bahan kemasan makanan yang perlu Anda waspadai.

Kertas
Beberapa kertas kemasan dan non-kemasan (kertas koran dan majalah) yang sering digunakan untuk membungkus makanan, terdeteksi mengandung timbal (Pb) melebihi batas yang ditentukan. Di dalam tubuh manusia, timbal masuk melalui saluran pernapasan atau pencernaan menuju sistem peredaran darah, dan kemudian menyebarke berbagai jaringan
lain seperti ginjal, hati,otak, saraf dan tulang. Keracunan timbal ini pada orang dewasa ditandai dengan gejala 3 P, yaitu pallor (pucat), pain (sakit) dan paralysis (kelumpuhan).
Keracunan yang terjadi pun bisa bersifat kronis dan akut.
Untuk terhindar dari makanan yang terkontaminasi logam berat timbal, mema ng susah-susah gampang. Banyak makanan jajanan seperti pisang goreng, tahu goreng dan tempe goreng yang dibungkus dengan koran karena pengetahuan yang kurang dari si penjual. Padahal bahan yang panas dan berlemak mempermudah berpindahnya timbal makanan tersebut. Sebagai usaha pencegahan, taruhlah makanan jajanan tersebut di atas piring.

Styrofoam
Bahan pengemas styrofoam atau polystyrene telah menjadi salah satu pilihan yang paling populer dalam bisnis pangan. Tetapi, riset terkini membuktikan bahwa styrofoam diragukan keamanannya. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer styren ini menjadi pilihan bisnis pangan karena mampu mencegah kebocoran dan tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang. Selain itu, bahan tersebut juga mampu mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, biaya murah, lebih aman, serta ringan.Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam makanan.
Saat ini masih banyak restoran -restoran siap saji yang masih menggunakan styrofoam sebagai wadah bagi makanan atau minumannya. Sebisa mungkin Anda harus menghindari penggunaan styrofoam untuk makanan atau minuman panas, karena sama halnya dengan plastik, suhu yang tinggi menyebabkan perpinda han komponen kimia secara difusi dari styrofoam ke dalam makanan Anda.

Kaleng
Pada umumnya, produk makanan yang dikemas dalam kaleng akan kehilangan citra rasa segarnya dan mengalami penurunan nilai gizi akibat pengolahan dengan suhu tinggi. Satu hal lagi yang juga cukup mengganggu adalah timbulnya rasa taint kaleng atau rasa seperti besi yang timbul akibat coating kaleng tidak sempurna.B ahaya utama pada makanan kaleng adalah tumbuhnya bakteri Clostridium botulinum yang dapat menyebabkan keracunan botulinin. Tanda-tanda keracunan botulinin antara lain tenggorokan menjadi kaku, mata berkunang-kunang dan kejang-kejang yang membawa kematian karena sukar bernapas.
Biasanya bakteri ini tumbuh pada makanan kaleng yang tidak sempurna pengolahannya atau pada kaleng yang bocor sehingga makanan di dalamnya terkontaminasi udara dari luar. Untungnya racun botulinin ini peka terhadap pemanasan.
Cermat memilih kaleng kemasan merupakan suatu upaya untuk menghindari bahaya-bahaya yang tidak diinginkan tersebut. Boleh-boleh saja memilih kaleng yang sedikit penyok, asalkan tidak ada kebocoran. Selain itu segera pindahkan sisa makanan kaleng ke tempat lain agar kerusakan kaleng yang terjadi kemudian tidak akan mmepengaruhi kualitas makanannya.

Plastik
Setiap hari kita menggunakan plastik, baik untuk mengolah, menyimpan atau mengemas makanan. Ketimbang kemasan tradisional seperti dedaunan atau kulit hewan, plastik memang lebih praktis dan tahan lama. Kelemahannya adalah, plastik tidak tahan panas dan dapat mencemari produk akibat migrasi komponen monomer yang akan berakibat buruk terhadap kesehatan konsumen. Selain itu, plastik juga bermasalah untuk lingkungan karena merupakan bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami (non-biodegradable).
Perlu diingat bahwa sebenarnya plastik itu tidak berbau dan berwarna. Jadi hindari penggunaan plastik yang bau dan berwarna gelap untuk membungkus makanan secara langsung.
Plastik kresek hitam yang sering digunakan sebagai pembungkus gorengan, gelas plastik yang dipakai untuk air mendidih, botol kemasan air mineral yang diterpa sinar matahari setiap hari, serta penggunaan plastik kiloan untuk membuat ketupat, adalah contoh-contoh penggunaan kemasan plastik yang salah dan sangat berbahaya. Akibat dari penggunaan plastik yang tidak sesuai dengan fungsinya ini, dikhawatirkan akan terjadi perpindahan komponen kimia dari plastik ke dalam makanan.
Beberapa kemasan plastik berasal dari material polyetilen polypropilen polyvinyl-chlorida yang jika dibakar atau dipanaskan dapat menimbulkan dioksin, suatu zat yang sangat beracun dan merupakan penyebab kanker serta dapat mengurangi sistem kekebalan tubuh seseorang.
Menjaga plastik agar tidak berubah selama digunakan sebagai pengemas merupakan cara tentr am untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut.
Sumber dari intersat forum community

Styrofoam
Tak semua orang maklum bahwa kemasan plastik mi instan yang
diiklankan Joshua terbuat dari styrofoam yang mengandung polistiren
(polystyrene). Padahal menurut majalah Warta Konsumen edisi April
2000 yang mengutip Japan Offspring Fund, polistiren diduga bersifat
karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) dan berpengaruh pada sistem
saraf pusat. Majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) itu menyebutkan bahwa suhu tinggi merupakan faktor
eksternal terpenting bagi migrasi molekul plastik untuk larut ke
dalam makanan/minuman. Semakin tinggi suhu, maka kecepatan
perpindahan komponen plastik akan semakin besar.

“Beberapa wadah mi instan berbentuk gelas atau mangkuk mengandung
risiko yang tinggi, karena biasanya mi yang berada dalam wadah
tersebut dituang dengan air panas dan mi-nya langsung dimakan.
Padahal dari penelitian YLKI, wadah tersebut terbuat dari polistiren
yang diduga bersifat karsinogenik,” demikian Ilyani Sudardjat, staf
Bidang Penelitian YLKI. (Kompas, 7/6)

***

YLKI memang dalam Warta Konsumen edisi April 2000 tadi menurunkan
hasil surveinya tentang kemasan plastik untuk makanan/minuman dan
ancamannya terhadap konsumen sebagai laporan utama. Selain polistiren
yang masih diragukan keamanannya oleh YLKI, konsumen perlu mewaspadai
kemasan plastik yang mengandung polivinyl chloride (PVC), karena
selain bersifat karsinogenik juga mengandung dioksin yang berbahaya
bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Beberapa wadah fast-food
yang dijajakan di pusat perbelanjaan, ternyata mengandung PVC
berkadar lebih dari 95 persen; begitu pula plastic wrap berupa
plastik sangat tipis yang diklaim tidak lumer dalam microwave oven.

“Ini tentu menyesatkan. Ada produsen plastic wrap yang menyatakan
bahwa produknya food grade, yang aman dan tidak mengandung toksin
selama digunakan pada fungsi yang sebenarnya. Namun, siapa dapat
menjamin pemanasan dengan microwave oven tidak akan mengurai molekul
plastik? Juga tidak ada jaminan semua kemasan plastik yang masuk ke
Indonesia tidak mengandung residu monomer yang berbahaya,” kata
Ilyani pula.

Seyogianyalah konsumen waspada dan pedagang tidak menyesatkan.
Penjual makanan cepat saji seperti Bakso Bintaro di Mal Puri Indah,
misalnya, memasang foto mangkoknya dari bahan keramik. Namun,
nyatanya yang disajikan adalah mangkok dari bahan styrofoam yang
mengandung polistiren. Dengan kuah bakso yang panas, tidak mustahil
sebagian molekul polistiren terlarut dan masuk ke dalam tubuh para
konsumen. Ini tentu bukan hanya ulah Bakso Bintaro-dengan
dalih “praktis” dan tak perlu lagi mencuci mangkuk bekas pakai-karena
banyak penjaja makanan cepat saji lain di berbagai pertokoan juga
melakukan hal yang sama.

***

PAKAR teknologi pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr FG
Winarno membenarkan bahwa kemasan plastik yang mengandung PVC memang
berisiko bagi kesehatan, karena diketahui bersifat karsinogenik dan
jika terurai mengeluarkan dioksin yang berbahaya bagi tubuh. Namun,
tentang kemasan styrofoam yang mengandung polistiren, Winarno
menyatakan, masyarakat tak perlu khawatir. Berbagai penelitian
internasional menunjukkan molekul monomer stiren dari kemasan
styrofoam yang terlarut dalam air panas, tidak bersifat karsinogen
dan tidak berakumulasi di dalam tubuh.

“Larutan polistiren juga tidak terbukti mempengaruhi sistem saraf
pusat. Yang sempat dihebohkan dari polistiren adalah kemungkinannya
mengganggu sistem endokrinologi dan reproduksi (Endrocrine Disrupting
Chemicals/EDC). Namun, hal ini pun ternyata tidak terbukti,” kata
Prof Winarno yang juga penasihat Codex Mi Instan.

Bulan Februari tahun 1999 ketika berlangsung Konferensi Kedua
Produsen Mi Instan Sedunia di Nusa Dua, Bali, masalah EDC dari
kemasan styrofoam sempat mengemuka dan mendapat perhatian besar
peserta konferensi. Di Jepang sendiri isu tidak amannya kemasan mi
instan yang terbuat dari styrofoam sempat menghebohkan, karena
dikaitkan dengan tingkat fertilitas masyarakat Jepang yang rendah.
Selain Cina dan Indonesia, masyarakat Jepang dikenal paling doyan
makan mi instan.

Menurut Koki Ando, Presiden Japan Convenience Food Industry
Association (Asosiasi Industri Makanan Jepang), isu bahaya polistiren
sebenarnya merupakan isu lama. Isu tersebut berkembang di Jepang
tahun 1996 setelah terbitnya buku Our Stolen Future karya Theo
Colborn. “Industri mi instan di Jepang telah melakukan penelitian
dampak biologis oligomer stiren terhadap sistem reproduksi. Hasilnya,
ternyata tidak ada pengaruhnya,” kata Ando tahun lalu. (Kompas
13/2/99)

Styrofoam sendiri, menurut Prof Winarno, dibuat dari kopolimer
polistiren yang terdiri dari monomer stiren. Sedang stiren merupakan
salah satu produk sampingan minyak bumi. Stiren pertama kali
diproduksi secara komersial pada tahun 1930-an dan berperan penting
selama Perang Dunia II dalam pembuatan karet sintetik. Sekarang
peranan stiren telah bergeser dalam pembuatan produk polistiren
komersial, salah satunya adalah wadah makanan dan minuman. Bentuk
kemasan polistiren yang umum dikenal adalah styrofoam yang dipatenkan
oleh perusahaan Dow Chemical.

Perusahaan kimia AS ini tentu tak pernah mengira bahwa produknya
bakal digunakan dengan amat meluas, menjadi kemasan mi siap saji.
Gaya hidup modern yang serba sibuk, menurut Winarno, memang kemudian
membutuhkan kemasanan makanan siap saji yang praktis, nyaman dan
harganya terjang-kau. Di Jepang saja, volume produksi domestik mi
dalam cup pada tahun 1997 adalah 3 milyar 165 juta buah, atau setiap
warga Jepang per tahun mengkonsumsi rata-rata 25 cup mi instan. Mi
instan dalam kemasan styrofoam pertama kali diperkenalkan ke pasaran
pada tahun 1971. Kini mi jenis ini diproduksi oleh 28 negara dan kira-
kira 6,6 milyar buah setiap tahunnya dikonsumsi oleh lebih dari 80
negara di seluruh dunia.

***

DATA mengenai monomer stiren hasil ekstraksi wadah gelas plastik mi
instan pernah dilaporkan oleh Hanai, asisten Pusat Penelitian Ilu
Lingkungan Universitas Nasional Yokohama. Ia beberapa tahun lalu
melakukan penelitian atas permintaan Japan Offspring Fund, salah satu
lembaga swadaya masyarakat (LSM) perlindungan konsumen Jepang. Hanai
menuangkan masing-masing 200 cc air mendidih selama 5 menit ke dalam
berbagai wadah styrofoam ramen (mi), sebanyak 12 merek dari lima
perusahaan. Memang ada molekul monomer stiren yang terlarut, yaitu
mulai dari 1 ppb (part per billion) hingga 33 ppb. Jumlah ini
ekuivalen dengan 0,4-13,2 mikrogram, dan dinilai merupakan jumlah
yang teramat kecil dan tidak perlu dikhawatirkan.

Molekul stiren secara alami memang berada di atmosfer, dan
diperkirakan mencapai 1 mikrogram per satu meter kubik. Setiap orang
diperkirakan menghirup udara sebanyak 15 meter kubik sehari, sehingga
stiren yang terisap mencapai 15 mikrogram.

Menurut Prof Winarno, tahun 1971 Huntington Research Center di
Inggris sudah pernah melakukan penelitian berjudul “Risiko Kesehatan
yang Mungkin Terjadi Akibat Residu Styrofoam yang Larut dalam
Kemasan”. Hasilnya menyatakan bahwa wadah styrofoam yang digunakan
untuk produk pangan tidak bersifat racun dan bukan karsinogenik.

Tahun 1974 Japan Research Laboratories juga melakukan penelitian yang
mirip, yaitu risiko kesehatan yang dapat terjadi dari migrasi molekul
plastik polistiren (styrofoam) ke dalam makanan, dan kesimpulannya
wadah styrofoam bersifat nontoksik. Tahun 1976, Dr Maltoni dari
Universitas Bologna, Italia memastikan bahwa styrofoam bukan
karsinogen.

Walaupun keamanan wadah styrofoam untuk mi instan sudah cukup
didukung oleh data ilmiah, kepastian jumlah stiren yang terekstrak
dalam wadah mi instan tetap diteliti ulang oleh Japan Food Analysis
Center pada Maret 1998. Jumlah ekstrak monomer stiren yang diuji dari
18 merek dagang dari enam produsen menunjukkan, hasil mulai dari tak
terdeteksi hingga 13 ppb. Tahun 1998 diperoleh data bahwa stiren
dimer maupun stiren trimer tidak terdeteksi.

Bulan Mei 1998 Laboratorium Pusat Makanan Nissin melakukan uji dampak
polistiren terhadap aktivitas estrogenik, dan hasilnya menunjukkan,
tak ada respon estrogenik baik secara in vivo maupun in vitro. Hasil
senada diperoleh dari penelitian lembaga riset ilmiah Belanda, TNO
atas permintaan Asosiasi Industri Stiren Jepang (JSIA) pada tahun
1998. Uji aktivitas uterotropik polistiren pada tikus betina yang
menyusui menunjukkan bahwa polistiren tidak memiliki aktivitas
uterotropik atau estrogenik.

Kendati kewibawaan dan netralitas lembaga riset seperti TNO tidak
perlu diragukan, Prof Winarno menyatakan, seyogianya Organisasi
Pangan (FAO) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga memberikan
perhatian kepada masalah keamanan polistiren terhadap kesehatan.
Kedua lembaga PBB itu memiliki Joint Expert Committee on Food
Additive and Contaminant yang seharusnya berhak, mampu, dan netral
untuk memberikan kepastian tentang keamanan kemasan polistiren kepada
masyarakat sedunia.
Sejauh ini standar keamanan polistiren baru ditetapkan oleh Amerika
Serikat dan Jepang. Administrasi Pengawasan Makanan dan Obat-obatan
(FDA) Amerika Serikat yang mengatur keamanan bahan pembungkus
makanan, mengizinkan penggunaan styrofoam untuk wadah semua jenis
pangan, dengan syarat stiren monomer lebih rendah dari 5.000 ppm
(part per million). Standar ini kemudian diadopsi untuk perdagangan
pangan dunia. Jepang malah memperketat standar ini, yaitu membolehkan
residu polistiren asal tidak melebihi 2.000 ppm.

Dari segi sanitasi, wadah kemasan styrofoam untuk makanan secara
higienis diterima dengan baik oleh FDA karena sekali pakai lalu
dibuang. Sedang dari segi keamanan lingkungan, styrofoam yang semula
dibuat dari bahan yang mengandung chlor fluorocarbon (CFC), kini
telah diganti dengan bahan yang lebih ramah lingkungan, karena CFC
terbukti membahayakan lapisan ozon di atmosfer.(Irwan Julianto)
Tanah datar.blogspot.com

Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan metanol hingga 15 persen sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri.

Nama lain formalin : – Formol – Methylene aldehyde – Paraforin
– Morbicid – Oxomethane – Polyoxymethylene glycols
– Methanal – Formoform – Superlysoform
– Formic aldehyde – Formalith – Tetraoxymethylene
– Methyl oxide – Karsan – Trioxane
– Oxymethylene – Methylene glycol

Penggunaan formalin
* Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih : lantai, kapal, gudang dan pakaian
* Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain
* Bahan pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak
* Dalam dunia fotografi biasaya digunakan untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas
* Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea
* Bahan pembuatan produk parfum
* Bahan pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku
* Pencegah korosi untuk sumur minyak
* Bahan untuk insulasi busa
* Bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood)
* Dalam konsentrasi yag sangat kecil (<1 persen) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampoo mobil, lilin dan karpet.

Bahaya bila terpapar oleh formalin
Bahaya utama
Formalin sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit dan tertelan. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa : luka bakar pada kulit, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi dan bahaya kanker pada manusia.

Bahaya jangka pendek (akut)
1. Bila terhirup
* Iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernafasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk.
* Kerusakan jaringan dan luka pada saluran pernafasan seperti radang paru, pembengkakan paru.
* Tanda-tada lainnya meliputi bersin, radang tekak, radang tenggorokan, sakit dada, yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual dan muntah.
* Pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian.

2. Bila terkena kulit
Apabila terkena kulit maka akan menimbulkan perubahan warna, yakni kulit menjadi merah, mengeras, mati rasa dan ada rasa terbakar.

3. Bila terkena mata
* Apabila terkena mata dapat menimbulkan iritasi mata sehingga mata memerah, rasanya sakit, gata-gatal, penglihatan kabur dan mengeluarkan air mata.
* Bila merupakan bahan berkonsentrasi tinggi maka formalin dapat menyebabkan pengeluaran air mata yang hebat dan terjadi kerusakan pada lensa mata.

4. Bila tertelan
* Apabila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan , sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga koma.
* Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal.

Bahaya jangka panjang (kronis)
1. Bila terhirup
Apabila terhirup dalam jangka lama maka akan menimbulkan sakit kepala, gangguan sakit kepala, gangguan pernafasan, batuk-batuk, radang selaput lendir hidung, mual, mengantuk, luka pada ginjal dan sensitasi pada paru.
* Efek neuropsikologis meliputi gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan terganggu, kehilangan konsentrasi dan daya ingat berkurang.
* Gangguan haid dan kemandulan pada perempuan
* Kanker pada hidung, ronggga hidung, mulut, tenggorokan, paru dan otak.

2. Bila terkena kulit
Apabila terkena kulit, kulit terasa panas, mati rasa, gatal-gatal serta memerah, kerusakan pada jari tangan, pengerasan kulit dan kepekaan pada kulit, dan terjadi radang kulit yang menimbulkan gelembung.

3. Bila terkena mata
Jika terkena mata, bahaya yang paling menonjol adalah terjadinya radang selaput mata.

4. Bila tertelan
Jika tertelan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada.

Tindakan Pencegahan:
1. Terhirup
* Untuk mencegah agar tidak terhirup gunakan alat pelindung pernafasan, seperti masker, kain atau alat lainnya yang dapat mencegah kemungkinan masuknya formalin ke dalam hidung atau mulut.
* Lengkapi sistem ventilasi dengan penghisap udara (exhaust fan) yang tahan ledakan.

2. Terkena mata
* Gunakan pelindung mata atau kacamata pengaman yang tahan terhadap percikan.
* Sediakan kran air untuk mencuci mata di tempat kerja yang berguna apabila terjadi keadaan darurat.
3. Terkena kulit
* Gunakan pakaian pelindung bahan kimia yang cocok.
* Gunakan sarung tangan yang tahan bahan kimia.

4. Tertelan
Hindari makan, minum dan merokok selama bekerja. Cuci tangan sebelum makan.

Tindakan pertolongan pertama
1. Bila terhirup
Jika aman memasuki daerah paparan, pindahkan penderita ke tempat yang aman. Bila perlu, gunakan masker berkatup atau peralatan sejenis untuk melakukan pernafasan buatan. Segera hubungi dokter.

2. Bila terkena kulit
Lepaskan pakaian, perhiasan dan sepatu yang terkena formalin. Cuci kulit selama 15-20 menit dengan sabun atau deterjen lunak dan air yang banyak dan dipastikan tidak ada lagi bahan yang tersisa di kulit. Pada bagian yang terbakar, lindungi luka dengan pakaian yag kering, steril dan longgar. Bila perlu, segera hubungi dokter.

3. Bila terkena mata
Bilas mata dengan air mengalir yang cukup banyak sambil mata dikedip-kedipkan. Pastikan tidak ada lagi sisa formalin di mata. Aliri mata dengan larutan dengan larutan garam dapur 0,9 persen (seujung sendok teh garam dapur dilarutkan dalam segelas air) secara terus-menerus sampai penderita siap dibawa ke rumah sakit. Segera bawa ke dokter.

4. Bila tertelan
Bila diperlukan segera hubungi dokter atau dibawa ke rumah sakit.
Cara penyimpanan formalin :
* Jangan disimpan di lingkungan bertemperatur di bawah 15 0C.
* Tempat penyimpanan harus terbuat dari baja tahan karat, alumunium murni, polietilen atau poliester yang dilapisi fiberglass.
* Tempat penyimpanan tidak boleh terbuat dari baja biasa, tembaga, nikel atau campuran seng dengan permukaan yang tidak dilindungi/dilapisi.
* Jangan menggunakan bahan alumunium bila temperatur lingkungan berada di atas 60 derajat Celsius.

———————————

Mi, Lezat Bergizi tetapi Rawan Formalin!

Oleh Prof. DR. Made Astawan, Ahli Teknologi Pangan dan Gizi
Mi basah rawan terhadap penambahan formalin dan boraks. Zat kimia ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Sayangnya, kandungan formalin dan boraks hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan laboratorium.

Mi pertama kali dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan mi disebarkan oleh Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini mi populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mi yang beredar di Indonesia terdiri dari empat jenis, yaitu mi mentah, mi basah, mi kering, dan mi instan. Keempat jenis tersebut mempunyal pasar sendiri-sendiri, dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Di Indonesia, mi digemari herbagai kalangan, mulai anak-anak hingga lanjut usia. Alasannya. sifat mi yang enak, praktis, dan mengenyangkan.
Kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mi digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Mi dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mi baso, mi goreng, soto mi, mi ayam, dan lain sebagainyaa.

Seiring perkembangan teknologi dan semakin meningkatnya kesadaran orang akan gizi, sekarang ini mi tidak hanya dijadikan sebagai penyuplai energi, melainkan juga sebagai sumber zat gizi lain. Berbagai vitamin dan mineral dapat difortifikasikan ke dalam mi. seperti yang sering kita jumpai pada pembuatan mi instan.
Walaupun demikian, kecukupan zat gizi belum dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan sebungkus mi. Kombinasi dengan sayuran dan sumber protein perlu dilakukan dalam upaya mendongkrak kelengkapan komposisi gizi ini.
Nilai Gizi

Diversifikasi konsumsi pangan terutama dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Saat ini persediaan beras di Indonesia mulai menipis, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin banyaknya lahan persawahan yang digunakan sebagai pemukiman.

Berdasarkan kandungan gizinya, mi merupakan bahan pangan yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai produk diversifikasi. Kandungan gizi mi sudah dapat mencukupi sebagai pengganti beras.

Sebungkus mi instan yang beratnya 75 gram (lengkap dengan minyak dan bumbu), serta ditambah dengan sayuran dan protein dari luar, dapat diandalkan untuk sarapan pagi. Untuk makan siang, porsinya perlu dinaikkan menjadi dua bungkus.

Terdapat beberapa kelemahan dalam produk-produk mi. Umumnya mi sedikit sekali mengandung serat (dietary fiber) serta vitamin B dan E. Komposisi bahan mi instan belakangan ini sudah semakin komplet. Beberapa merek mi instan telah dilengkapi dengan serat, sedikit sayuran, dan irisan daging kering, serta vitamin B dan E. Namun, kita tetap saja perlu menambahkan bahan-bahan lain dari luar, terutama sayuran dan sumber protein, agar nilai gizinya menjadi semakin baik.

Murah, Meski Berbahaya

Sayangnya, tingkat pengetahuan yang rendah mengenai bahan pengawet merupakan faktor utama penyebab penggunaan formalin dan boraks pada mi.
Beberapa survei menunjukkan, alasan produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet karena daya awet dan mutu mi yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya, tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan.

Hal tersebut ditunjang oleh perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang harganya murah, tanpa mengindahkan kualitas. Dengan demikian, penggunaan formalin dan boraks pada mi dianggap hal biasa. Sulitnya membedakan biasa dan mi yang dibuat dengan penambahan formalin dan boraks, juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumen tersebut.
Deteksi formalin dan boraks secara akurat hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan bahan-bahan kimia, yaitu melalui uji formalin dan uji boraks.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan bagi produsen dan konsumen tentang bahaya pemakaian bahan kimia yang bukan termasuk kategori bahan tambahan pangan. Selain itu, diperlukan sikap pemerintah yang lebih tegas dalam melarang penggunaan kedua jenis pengawet tersebut pada produk pangan.
Bisa Menimbulkan Keracunan & Kematian

Mi basah digunakan untuk produk makanan seperti mi baso, mi soto bogor, mi goreng, ataupun pada pembuatan makanan camilan. Kadar air mi basah tergolong tinggi, sehingga daya awetnya rendah.
Penyimpanan mi basah pada suhu kamar selama 40 jam menyebabkan tumbuhnya kapang.

Untuk itu, dalam pembuatan mi basah diperlukan bahan pengawet agar mi bisa bertahan lebih lama. Mungkin karena faktor ketidaktahuan banyak produsen yang menggunakan formalin atau boraks sebagai pengawet. Selain memberikan daya awet, kedua bahan tersebut juga murah harganya dan dapat memperbaiki kualitas mi.
Menurut beberapa produsen, penggunaan boraks pada pembuatan mi akan menghasilkan tekstur yang lebih kenyal. Sementara itu, penggunaan formalin akan menghasilkan mi yang lebih awet, yaitu dapat disimpan hingga 4 hari.
Laporan Badan POM tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 29 sampel mi basah yang dijual di pasar dan supermarket Jawa Barat, ditemukan 2 sampel (6,9 persen) mengandung boraks, 1 sampel (3,45 persen) mengandung formalin, sedangkan 22 sampel (75,8 persen) mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel yang dinyatakan aman dari formalin dan borak.
Isu penggunaan formalin dan boraks tentu saja sangat meresahkan masyarakat. Kedua bahan tersebut jelas-jelas bukan termasuk kategori bahan tambahan pangan (food additives), sehingga sangat dilarang penggunaannya pada pangan apa pun. Kedua bahan tersebut dilarang penggunaannya karena bersifat racun terhadap konsumennya.

Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbut antara lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah.

Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam.

Boraks juga dapat menimbulkan efek racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis (buah zakar), sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi (Winarno dan Rahayu, 1994).
Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 – 20 g atau lebih.

———————————

Bahaya di Balik Gurihnya Ikan Asin
Menikmati sajian nasi putih ditambah sambal terasi dan lalapan segar terasa kurang lengkap tanpa ikan asin. Dengan kekayaan laut seperti Indonesia, aneka jenis ikan asin dapat diperoleh dengan mudah, dari teri, tongkol, jambal hingga cumi.
Karena harganya relatif terjangkau, bahan makanan ini sering digunakan menyiasati keterbatasan anggaran rumah tangga. Cara pengolahannya pun tergolong mudah dan dapat diolah jadi aneka jenis masakan.
Proses produksi bahan makanan juga tidak terlalu rumit dan hanya menggunakan teknologi tradisional. Para pengasin biasanya memperoleh ikan dari tempat pelelangan ikan di pelabuhan setempat. Jika hasil tangkapan ikan melimpah, setiap pengasin bisa memproduksi beberapa ton ikan asin per hari.
Usai dibersihkan, ikan-ikan dengan jenis sama lalu dimasukkan ke dalam tempayan berisi larutan garam. Takarannya, satu karung garam untuk setiap drum ikan. Perendaman bisa 12 jam hingga semalam suntuk.
Setelah larutan garam meresap, ikan kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Ikan yang telah diasinkan lalu dikemas dan dijual kepada para pengepul.
Karena jalur pemasaran dikuasai pengepul, para pengasin mengaku tidak bisa menentukan harga jual ikan mereka. ?Jadi, kadang malah nombok, hasil penjualan tidak bisa menutupi biaya produksi,? tutur Ny Ratini (33), pengasin asal Indramayu.
Jika proses penjemuran kurang sempurna, bahan makanan akan mudah ditumbuhi jamur. Bahan makanan itu pun jadi mudah penyok dan hancur, terutama apabila cara pengemasannya tidak rapi dan harus dikirim ke luar kota. Akibatnya, ikan asin itu pun tidak laku di pasaran.
Karena cara produksinya masih manual, pengeringan ikan ini sangat tergantung dari cuaca. Kalau musim hujan, pengeringan bisa berhari-hari. Begitu air hujan turun, para pekerja tergopoh-gopoh menutupi ikan-ikan yang tengah dijemur itu dengan plastik agar tidak basah. ?Hujan memang menghambat proses penjemuran ikan,? kata Ny Ratini saat ditemui di lokasi pengasinan di Muara Angke, Jakarta Utara.
Maka, belakangan banyak pengasin berulah nakal demi meraup untung. Mereka sengaja membubuhkan formalin, bahan pengawet bukan untuk makanan agar ikan tidak ditumbuhi jamur dan lebih awet. Pemakaian formalin mempercepat pengeringan dan membuat tampilan fisik tidak cepat rusak.
Dulu hanya garam

Menurut penuturan H Suwandi (42), pengasin asal Cirebon yang sehari-hari membuka usaha di Muara Angke, Jakarta Utara, semula mereka hanya memakai garam sebagai pengawet yang kemudian dijemur.
Formalin baru dipakai dalam pengolahan ikan sejak tiga tahun terakhir dari pergaulan dengan para pengolah di luar Muara Angke. Mereka membeli formalin di sejumlah toko kimia di daerah Jembatan Lima, Jakarta.
Dengan proses garam dan penjemuran, rendemen yang tersisa kurang dari separuh. Bila bahan bakunya seratus kilogram saat masih basah, setelah jadi ikan asin tinggal 40 persen atau 40 kg. Kehilangan 60 kg itu sangat merugikan karena harga jual menggunakan satuan kilogram. Jika memakai formalin, rendemen bisa mencapai 75 persen. Selisih 35 persen itu yang dikejar para pengolah.
?Pemakaian formalin ini juga atas permintaan pembeli. Soalnya, kalau pakai pengawet, ikan asin jadi kelihatan bagus, tidak lembek dan gampang rusak. Ikan yang dikasih pengawet juga tidak bau,? kata Suwandi yang merintis usaha pengolahan ikan sejak puluhan tahun silam.
Bagi pengasin, penggunaan bahan pengawet juga mempercepat proses pengeringan ikan.
Di tengah ketatnya persaingan pasar, tuntutan para pelanggan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini hampir 90 persen dari total jumlah pengasin di daerah itu memakai bahan pengawet saat membuat ikan. ?Kalau tidak pakai formalin ya dagangannya tidak laku,? kata Suwandi.
Menurut catatan Kompas, sarana pengolahan ikan asin Muara Angke berdiri sejak 1984 untuk memberi fasilitas kepada para pengolah dan agar produksi ikan bisa dikontrol kebersihannya. Di areal seluas 4,5 hektar itu dibangun perumahan dua tingkat, cukup untuk dihuni 196 keluarga pengolah.
Antara tahun 1984 hingga 1999, pengolah membayar sewa Rp 26.000 per bulan. Namun, sejak tahun 2000 lalu dinaikkan jadi Rp 50.000 per bulan. Luas tiap unit 5 x 6 meter persegi.
Produksi ikan asin Muara Angke antara 30-40 ton per hari. Terdiri atas berbagai jenis ikan, antara lain jambal, teri, dan tembang. Mereka bergabung dalam Koperasi Mina Jaya yang tidak menangani pemasaran dan produksi, melainkan hanya menyediakan fasilitas pengolahan secara kredit seperti garam atau uang untuk membeli bahan baku dari nelayan.

Waspadai formalin
Pemakaian formalin dalam pengolahan ikan asin memang patut diwaspadai.
Kasus peredaran ikan asin berformalin tidak hanya ditemukan di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga merambah ke sejumlah sentra pengolahan ikan asin di daerah lain, di antaranya Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan Sucofindo terhadap sejumlah sampel ikan asin, seluruh sampel ternyata mengandung formalin dengan kadar beragam.
Sampel ikan asin dari Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, memiliki kandungan formalin 2,36 miligram per kilogram. Sampel ikan asin dari Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dipastikan mengandung formalin 29,22 mg/kg.
Sampel ikan asin dari Pasar Kramat Jati mengandung formalin dengan kadar 48,47 mg/kg. Bahkan, sampel ikan asin yang diambil dari Pasar Palmerah, Jakarta Barat, ternyata memiliki kadar formalin tinggi, 107,98 mg/kg.
Peredaran ikan asin di pasar modern, termasuk hipermarket, ternyata juga menunjukkan kandungan formalin 51 mg/kg.
Hasil uji laboratorium itu setidaknya mencerminkan masih tingginya tingkat peredaran ikan asin berformalin di pasaran. Padahal, formalin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, di antaranya tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, dan diare.
Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama, dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan dan kanker.
Agar tidak salah memilih, konsumen perlu mewaspadai produk tertentu yang sering menggunakan formalin. Ikan asin yang mengandung formalin dapat diketahui lewat ciri-ciri antara lain, tidak rusak sampai lebih dari sebulan pada suhu kamar (25 derajat Celsius), bersih cerah dan tidak berbau khas ikan asin.
Sayangnya, ikan asin berformalin ini masih banyak dibeli lantaran ketidaktahuan konsumen. Sebagian pembeli juga ingin mendapatkan produk yang awet dengan harga murah.
?Konsumen jangan tidak segan-segan menanyakan kepada penjual pangan apakah produknya pakai formalin atau tidak,? kata Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (Badan POM) Dedi Fardiaz.
Seiring gencarnya sosialisasi bahaya formalin bagi keamanan bahan pangan, sebenarnya sebagian pengolah mulai memperbaiki kebersihan produksi.
Adanya ancaman hukuman penjara dan denda hingga Rp 1 miliar bagi produsen yang membuat pangan berformalin juga membuat para pengolah berpikir seribu kali untuk memakai bahan pengawet itu, termasuk para pengolah di Muara Angke.
?Sejak beberapa bulan ini sebagian besar pengolah telah menghentikan pemakaian formalin dalam memproduksi ikan asin karena takut kena hukuman. Kami sebelumnya tidak tahu kalau ternyata formalin itu berbahaya bagi kesehatan,? kata Suwandi, pengolah ikan.
Masalah baru

Namun, masalah baru kini harus dihadapi para pengolah itu. Sejak tidak memakai bahan pengawet berbahaya itu, praktis omzet penjualan mereka merosot drastis hingga mencapai lebih dari 40 persen.
Produk ikan asin yang telah dikirim pun banyak yang dikembalikan karena kondisi fisiknya telah hancur dan dianggap cacat produksi.
Dengan tidak memakai bahan pengawet, ikan asin yang diproduksi memang jadi terlihat kusam dan lembek, hanya bertahan dua minggu dan bau ikan asinnya sangat menyengat. Proses penjemuran jadi lebih lama dan rendemennya sangat sedikit sehingga berat bersih hasil olahan itu jadi jauh berkurang.
?Hasil olahan kami jadi kurang laku. Para pengepul tidak mau beli,? keluh Suwandi.
Karena itu, penerapan sanksi hukum dinilai tidak menyelesaikan masalah dalam pengolahan ikan dan membuat jera para produsen yang nakal.
?Kami berharap adanya alternatif bahan pengawet yang aman digunakan dalam pengolahan ikan. Jika tidak, ini bisa mematikan usaha kami,? kata Suwandi menegaskan. (EVY Rachmawati)

———————————

Tahu, Makanan Favorit yang Keamanannya Perlu Diwaspadai
Oleh Eddy Setyo Mudjajanto dosen Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB

PENINGKATAN kualitas sumber daya manusia salah satunya ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah aman, bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat.
AMAN yang dimaksud di sini mencakup bebas dari cemaran biologis, mikrobiologis, kimia, logam berat, dan cemaran lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Salah satu makanan yang sering dikonsumsi adalah tahu.
Tahu merupakan pangan yang populer di masyarakat Indonesia walaupun asalnya dari China. Kepopuleran tahu tidak hanya terbatas karena rasanya enak, tetapi juga mudah untuk membuatnya dan dapat diolah menjadi berbagai bentuk masakan serta harganya murah.
Selain itu, tahu merupakan salah satu makanan yang menyehatkan karena kandungan proteinnya yang tinggi serta mutunya setara dengan mutu protein hewani. Hal ini bisa dilihat dari nilai NPU (net protein utility) tahu yang mencerminkan banyaknya protein yang dapat dimanfaatkan tubuh, yaitu sekitar 65 persen, di samping mempunyai daya cerna tinggi sekitar 85-98 persen.
Oleh karena itu, tahu dapat dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat. Tahu juga mengandung zat gizi yang penting lainnya, seperti kemak, vitamin, dan mineral dalam jumlah yang cukup tinggi.
Selain memiliki kelebihan, tahu juga mempunyai kelemahan, yaitu kandungan airnya yang tinggi sehingga mudah rusak karena mudah ditumbuhi mikroba. Untuk memperpanjang masa simpan, kebanyakan industri tahu yang ada di Indonesia menambahkan pengawet. Bahan pengawet yang ditambahkan tidak terbatas pada pengawet yang diizinkan, tetapi banyak pengusaha yang nakal dengan menambahkan formalin.
Selain itu, banyak juga menambahkan pewarna methanyl yellow. Formalin dan metahnyl yellow merupakan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang penggunaannya dalam makanan menurut peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999.
Formalin

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 persen. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10 persen serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram.
Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh.
Selain itu, kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah. Formalin bila menguap di udara, berupa gas yang tidak berwarna, dengan bau yang tajam menyesakkan, sehingga merangsang hidung, tenggorokan, dan mata.
Pewarna makanan merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampakan makanan. Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan.
Secara garis besar pewarna dibedakan menjadi dua, yaitu pewarna alami dan sintetik. Pewarna alami yang dikenal di antaranya adalah daun suji (warna hijau), daun jambu/daun jati (warna merah), dan kunyit untuk pewarna kuning.
Kelemahan pewarna alami ini adalah warnanya yang tidak homogen dan ketersediaannya yang terbatas, sedangkan kelebihannya adalah pewarna ini aman untuk dikonsumsi.
Jenis yang lain adalah pewarna sintetik. Pewarna jenis ini mempunyai kelebihan, yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena hanya memerlukan jumlah yang sangat sedikit. Akan tetapi, kekurangannya adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna jenis ini akan berbahaya.
Selain itu, khusus untuk makanan dikenal pewarna khusus makanan (food grade). Padahal, di Indonesia, terutama industri kecil dan industri rumah tangga, makanan masih sangat banyak menggunakan pewarna nonmakanan (pewarna untuk pembuatan cat dan tekstil).
Pewarna pada tahu

Penelitian yang dilakukan oleh Mena (1994) menemukan bahwa tahu yang beredar di pasar tradisional Jakarta 70 persen mengandung formalin dengan kadar 4.08-85.69 ppm (part per million).
Penelitian Tresniani (2003) di Kota Tangerang menunjukkan terdapat 20 industri tahu yang terdiri dari 11 industri tahu kuning dan sembilan industri memproduksi tahu putih. Kandungan formalin tahu berkisar dari 2-666 ppm, sedangkan kandungan methanyl yellow-nya hanya terdapat pada tiga jenis tahu yang semuanya diperoleh dari pasar, yaitu berkisar antara 3.41-10.25 ppm.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Melawati (2004) terhadap lima sampel tahu Sumedang yang diambil langsung dari produsen tahu yang terletak di Jalan Mayor Abdurrahman (tiga pabrik) dan Jalan 11 April (dua pabrik) semuanya menunjukkan hasil negatif atau semuanya tidak mengandung formalin. Hal ini bisa dimengerti karena produsen tidak perlu menambahkan pengawet karena tahu yang diproduksinya habis hanya dalam tempo satu hari.
Tahu kalau tidak diawetkan hanya tahan disimpan selama dua hari bila direndam dalam air sumur atau air keran yang bersih.
Beberapa cara pengawetan yang biasa dilakukan adalah:

Tahu direbus selama 30 hari kemudian direndam dalam air yang telah dimasak, daya simpannya bisa menjadi empat hari.
Tahu direbus, kemudian dibungkus plastik dan disimpan di lemari es, memiliki daya tahan delapan hari;
Tahu diawetkan dengan direndam natrium benzoat 1.000 ppm selama 24 jam dapat mempertahankan kesegaran selama tiga hari pada suhu kamar;
Tahu direndam dalam vitamin C 0,05 persen selama empat jam dapat mempertahankan tahu selama dua hari pada suhu kamar;
Tahu direndam dalam asam sitrat 0,05 persen selama delapan jam akan segar selama dua hari pada suhu kamar.
Tips memilih tahu
Tahu yang mengandung formalin dapat ditandai dengan:

Semakin tinggi kandungan formalin, maka tercium bau obat yang semakin menyengat; sedangkan tahu tidak berformalin akan tercium bau protein kedelai yang khas;
Tahu yang berformalin mempunyai sifat membal (jika ditekan terasa sangat kenyal), sedangkan tahu tak berformalin jika ditekan akan hancur;
Tahu berformalin akan tahan lama, sedangkan yang tak berformalin paling hanya tahan satu dua hari.
Tahu yang memakai pewarna buatan dapat ditandai dengan cara melihat penampakannya. Jika tahu memakai pewarna buatan, warnanya sangat homogen/seragam dan penampakan mengilap. Sedangkan jika memakai pewarna kunyit, warnanya cenderung lebih buram (tidak cerah). Jika kita potong tahunya, maka akan kelihatan bagian dalamnya warnanya tidak homogen/seragam. Bahkan, ada sebagian masih berwarna putih.*

———————————

Waspadai Adanya Makanan Berformalin di Pasaran!

Konsumen harus teliti memilih bahan makanan agar terhindar dari bahan pengawet seperti formalin. Memilih tahu misalnya, bila berbau obat dan ditekan sangat kenyal, mungkin saja mengandung formalin

BEBERAPA waktu lalu Badan Pengawasan Obat dan Makanan menemukan empek-empek dan mi basah yang dijual di beberapa tempat di Sumatera Selatan ternyata mengandung formalin.
Belum lama ini, Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kota Jakarta Pusat juga mendapati puluhan ayam berformalin dijual di sejumlah pasar tradisional.
Formalin sebenarnya adalah nama dagang dari larutan formadehid dalam air dengan kadar 30-40 persen. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan dengan kadar formaldehid 40, 30, 20, dan 10 persen, serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing lima gram. Formalin biasanya digunakan dokter forensik untuk mengawetkan mayat.
Mengapa sampai para pedagang membubuhi formalin pada dagangannya?
Mungkin mereka akan bungkam jika ditanya demikian. Namun, jika menilik formalin biasa digunakan untuk mengawetkan mayat, bisa diduga para pedagang ingin agar dagangannya tahan lama. Setidaknya, jika barang tidak laku hari ini, ayam atau tahu yang telah diformalin bisa dijual kembali keesokan harinya dan tetap terlihat segar.
Ini baru formalin pada bahan pangan. Masih ada sederet bahan tambahan atau kimia yang kerap dibubuhkan dalam makanan, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), boraks, kloramfenikol, dietilpilokarbonat, dulsin, dan nitrofurazon. Padahal, penggunaan bahan-bahan kimia makanan tersebut sudah dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999.
Perhatikan cirinya

Monitoring sebenarnya sudah dilakukan petugas terkait dengan mengambil sampel bahan secara acak ke sejumlah pedagang pasar tradisional atau pedagang jajanan sekolah. Pasar swalayan juga menjadi sasaran inspeksi mendadak para petugas.
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan DKI Jakarta Edy Setiarto dan Kepala Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Pusat (Jakpus) Sigit Budiarto secara terpisah mengatakan, pemerintah mempunyai program memonitoring para penjual makanan ternak di pasar-pasar tradisional. Bagi yang tertangkap basah menjual bahan makanan berformalin, misalnya ayam, akan disita dan dibakar di tempat pembakaran. Di Jakpus misalnya, insenerator terletak di halaman kantor Kecamatan Senen.
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Dedi Fardiaz mengatakan, BPOM bertugas menyurvei makanan olahan atau jajanan. ?Hasil survei menjadi dasar untuk membina para pedagang,? katanya.
BPOM antara lain menyurvei segala jenis makanan yang dikonsumsi anak sekolah. Di sini dilihat apakah makanan olahan atau jajanan tersebut mengandung pewarna berbahaya atau tidak. Ini, menurut Dedi, penting dilakukan mengingat dampaknya terhadap kesehatan.
Agar tidak tertipu produk berbahaya itu, masyarakat sebaiknya berhati-hati dan memerhatikan ciri-ciri serta perbedaan antara bahan pangan segar dan yang mengandung bahan pengawet.
?Kalau ayam berformalin, ciri yang paling mencolok adalah tidak ada lalat yang mau hinggap. Jika kadar formalinnya banyak, ayam agak sedikit tegang (kaku). Yang paling jelas adalah jika daging ayam dimasukkan ke dalam reagen atau diuji laboratorium, nanti akan muncul gelembung gas,? papar anggota staf Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Feteriner Sudin Peternakan dan Perikanan Jakpus Elita Gunarwati.
Para pedagang biasanya membubuhi formalin dengan kadar minimal, sehingga konsumen pada umumnya bingung ketika harus membedakannya dengan bahan pangan segar. Pada daging ayam misalnya, karena hanya dibubuhi sedikit formalin, bau obat tidak tercium.
Untuk itu, masyarakat harus lebih waspada dan bisa memilih dengan baik. ?Seperti yang dilakukan ibu-ibu di Pasar Benhil, Jakarta Pusat. Mereka biasanya memilih membeli ayam hidup dan langsung dipotong di tempat,? kata Sigit.
Konsumen juga harus berhati-hati jika menemui ayam atau daging yang dijual dengan harga relatif jauh lebih murah daripada harga pasaran. Kemungkinan bahan pangan ini mengandung bahan pengawet berbahaya. Kalau membeli dalam jumlah banyak, misalnya untuk hajatan, pastikan pedagangnya layak dipercaya. Seberapa pun sempitnya waktu, sebaiknya Anda tetap meneliti ayam atau daging yang dibeli satu per satu.
Tahu berformalin

Untuk mendeteksi tahu berformalin relatif lebih mudah.
Dosen Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Eddy Setyo Mudjajanto dalam artikelnya menyebutkan, tahu berformalin akan membal atau kenyal jika ditekan. Sedangkan tahu tanpa formalin biasanya mudah hancur.
Tahu berformalin akan tahan lama, sedangkan tahu tanpa pengawet paling-paling hanya tahan dua hari. Tahu tanpa pengawet bisa lebih lama bertahan jika disimpan dalam kulkas, atau dibubuhi pengawet yang dianjurkan. Bahan pengawet tersebut seperti vitamin C 0,05 persen (tahu diberi pengawet selama empat jam), natrium benzoat 1.000 ppm (selama 24 jam), atau asam sitrat 0,05 persen (selama delapan jam).
Memang orang yang mengonsumsi tahu, mi, bakso, atau ayam berformalin beberapa kali saja belum merasakan akibatnya. Efek dari bahan makanan berformalin baru terasa beberapa tahun kemudian.
Kandungan formalin yang tinggi akan meracuni tubuh, menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsiogenik (menyebabkan kanker), dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel). Dalam kadar yang sangat tinggi, hal ini bisa menyebabkan kegagalan peredaran darah yang bermuara pada kematian.
Mengonsumsi makanan apa pun sebaiknya Anda memilih dengan cermat. Namun sebaliknya, jangan pula karena begitu khawatir, Anda menjadi takut secara berlebihan. Masih banyak pedagang yang jujur dan bisa mempertanggungjawabkan barang dagangannya. (IVV)

Tinggalkan komentar