Beranda

Friends


Posted on 15 April 2012

Friends
“Tok, tok, tok !” “Tunggu sebentar!” sahut Tejamaya mendengar pintu kamar kostnya diketuk. Dengan malas, Tejamaya pun berdiri, berjalan ke arah pintu, “Oh, kamu, Punk-punk, ada apa siang-siang begini?”

“Ada apa?” tanya Punk-punk keheranan, “Oh, kamu menyindirku ya?, karena aku kepagian lebih dari setengah jam? Sorri, soalnya daerahku itu ‘kan susah dapat angkot, jadinya aku keluar lebih awal, tahunya hari ini gampang!”

Tejamaya tersenyum, “Ngak, aku ngak nyindir kamu, aku betul-betul naya, ada perlu apa kamu ke sini?”.
“Becanda kamu!”

Melihat tampang Tejamaya yang serius, Punk-punk pun melanjutkan dengan nada agak kesal, “Hari ini hari sabtu, Metta ulang tahun hari ini dan ngundang kita makan, dan kita udah janji buat nyari kado siangnya!”

“Ohh…!” Tejamaya menepuk keningnya, Ya..ya..ya…., maaf, aku lupa!”. “Hero mana?” lanjut Tejamaya. Nanti juga akan ke sini, ‘kan janjiannya bakal ketemu di sini, kamu juga lupa itu.. ya? Tadi juga dia udah kutelepon!”

Mereka berempat dengan Metta memang bersahabat sejak SMU dulu. Kini mereka kuliah di tempat yang berbeda-beda, namun sampai saat ini masih mengontak satu sama lainya. Uniknya, tidak satupun diantara mereka yang beragama sama. Tejamaya sendiri seorang pemeluk agama Buddha yang tulen, Punk-punk beragama Kristen, dan Hero Katolik. sedangkan Metta, lebih senang mengikuti orang tuanya saja, Kong Hu Chu.
“Duduklah dulu, mau minum apa?” Tejamaya memecah keheningan.

“Udah, angak perlu repot, kayak orang asing saja. Ntar aku ambil sendiri aja. Kamu lagi sibuk ya?” lanjut Punk-punk, melihat kertas-kertas yang berserakan di atas meja belajar Tejamaya. “N gambil semester pendek?” lanjutnya lagi mengingat saat itu seharusnya mereka tengah liburan. Memang beberapa Universitas termasuk Universitas tempat Tejamaya kuliah telah mulai dengan program semester pendeknya.

“Ya aku ngambil 8 sks di semester pendek ini, tapi bukan itu yang sedang kukerjakan!” “Urusan Vihara?”
Tejamaya mengangguk, lalu melanjutkan, “Sebenarnya…..” Tejamaya berpikir untuk mencari kata yang tepat.

“Sebenarnya kamu ngak bisa datang nanti malam karena kamu telah buat janji yang lain, di Viharamu, ya kan?”

Tejamaya mengangguk, “Aku sudah janji sama Unit Kreatif untuk ngebantu bikin papan mading yang baru dan …..”

“Tapi kamu kan ketua!” potong Punk-punk cepat.

Mereka terdiam, “Apa ngak ada orang lain?”.

“Kasihan Dwie, stafnya banyak yang pulang kampung, dan sebagian lagi tidak peduli akan kerjaanya.”

“Tapi kan masih ada yang lain, yang bukan staf unit itu pun seharusnya ikut andil dong! Udah sana telepon Dwie dan bilang kamu ngak bisa datang!”

“Ya, tapi kamu kan setidaknya ngerti gimana kondisinya, berapa orang yang benar-benar punya perhatian buat…buat….”

“Aku ngak mau dengar itu, Tejamaya. Gimana nanti perasaan Metta. Pas kita janjian nonton waktu itu juga udah kamu batalin gara-gara ada rapat di Viharamu kan?”.

Tejamaya menghela napa, “Sejujurnya, aku iri sama organisasi agama kalian!”

“Gimana kuliahmu?” “Apa?”, “Kuliahmu!?” “Aku ngak lulus dua mata kuliah!” Tejamaya menunduk, ada suatu rasa malu juga ketika dia menyebutkan itu.

Kamu ingat nilai-nilai kamu di tingkat I dulu, dan bagaimana pujian guru-guru selalu dilayangkan padamu semasa SMU dulu?”. “Aku ngak pingin membahas masalah itu, Punk-punk”.

“Bagaimana kamu harus menghadapi masalah itu, Tejamaya!”.

“Ya tapi semuanya telah menjadi begitu rumit, dan itulah yang ingin aku pecahkan sekarang ini. Perhatian dari staf dan umat yang sangat kurang, pihak yayasan, belum lagi senior-senior yang turut campur, padahal mereka sendiri kurasa belum tentu mengerti betul bagaimana kondisi Vihara sekarang. Belum lagi…”, Tejamaya terhenti, tak tahu lagi apa yang ingin dikatakannya.

“Belum lagi ? Ah…tak tahulah !”

Suasana hening sejenak, “Kapan terakhir kamu minta bantuan ?”

Tejamaya mengingat-ingat, “Hari minggu kemarin, ketika aku minta Hedy untuk mengkoordinir umat yang mau main basket !” Punk-punk tersenyum, “Itu bukan minta bantuan, itu kan memang tugasnya dia sebagai koordinator Olahraga!”

“Oh..dua hari yang lalu ketika kuminta Nancy untuk mengetikkan surat…” Tejamaya tidak melanjutkan kalimatnya.

“Kamu berubah banyak, Tejamaya. Mana sistem pembagian waktumu yang bagus itu, ketika kamu berhasil memimpin OSIS tanpa menanggalkan gelarmu sebagai siswa dengan nilai terbaik di sekolah kita?”

Suasana hening kembali, “Kurasa kesalahanmu cuma satu, kamu begitu ingin memajukan Viharamu dan Agama Buddha. Itu memang suatu hal yang sangat indah dan terpuji, tapi caramu salah, bukan dengan mengorbankan dirimu habis-habisan begitu. Mereka juga perlu belajar bertanggung jawab. Disitulah perananmu, arahkan mereka, dan tak perlu sungkan untuk menegur mereka!” “Kenapa kamu begitu perhatian padaku, Punk-punk? Apakah …?”

“Kamu sahabatku. Betapapun jeleknya kamu, apapun agamamu, yang jelas kita telah bersahabat sejak SMU, dan itu yang ingin aku jalani!”

Untuk kesekian kalinya, suasana hening kembali tercipta, “Kupikir senior-seniormu juga mesti berpikiran seperti ini, tidak hanya mengkritik saja, tetapi juga berusaha untuk melihat kondisi di dalamnya. Staf-staf kamu juga, kalau mereka benar-benar peduli dan sadar akan komitmennya, semoga lambat laun mereka bisa menempatkan diri secara tepat.”

Tejamaya tersenyum masam, “Tapi…bagaimana aku bisa memulai itu semua?” Punk-punk mengangkat bahunya, “Mungkin kamu bisa menuliskan percakapan kita ini menjadi sebuah cerpen sebagai permulaan!”

Tejamaya berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk sendiri dan berkata, “Terima kasih, Punk-punk!” Punk-punk cuma bisa mengangguk.

Tiba-tiba mereka dikejutkan suara Hero, “Aduh, maaf aku terlambat hampir 10 menit, tadi dompetku ketinggalan, jadi aku harus kembali untuk mengambilnya dan…”

Tejamaya mengusap air matanya yang tanpa sadar telah merebak tadi, “Masuklah dulu! Aku telepon teman dulu, t’rus ganti baju, dan kita segera berangkat, Oce?”

Hero cuma terheran-heran, “Apa aku ketinggalan sesuatu?” Punk-punk tersenyum, “Ya, jelas, sebuah cerita indah!”

(Dikutip dan diperbaharui  dari Berita Vimala Dharma)

Tinggalkan komentar