1.Pendahuluan
Sering kita menjumpai kata ethics (inggris) atau etika (Indonesia) dalam berbagai kesempatan. Kosakata bahasa Inggris ethics, menurut Kamus Inggris Indonesia yang disusun oleh M.Echols dan Hasan Shadily berarti ‘etika, tata susila’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan kata etika berarti (1) ‘ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (aklak)’; (2) ‘kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan aklak’; (3)’nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’.
Ada baiknya, kita mulai dahulu dengan mempelajari makna dari kata etika yang berasal dari Yunani kuno dan hubungannya dengan kata sila serta seberapa jauh dapat diterapkan dalam Agama Buddha, karena kata etika telah digunakan secara luas.  Kata etika berasal dari beberapa kata Yunani yang hampir sama bunyinya, yaitu ethos dan ethos atau ta ethika. Kata ethos, artinya ‘kebiasaan, adat’. Kata ethos dan ethikos lebih berarti ‘kesusilaan, perasaan batin’, atau ‘kecenderungan hati dengan mana seseorang melakukan suatu perbuatan’. Bahasa Latin, istilah-istilah ethos. Ethos dan ethitos itu disebutkan dengan kata mos dan moralitas. Oleh sebab itu kata etika sering pula dijelaskan dengan kata moral.
Bahwa yang dimaksudkan dengan etika dalam bahasa Indonesia adalah ’kesusilaan’. Kata kesusilaan berasal dari kata su dan sila yang mendapat awalan ke- dan akhiran –an. Su berarti ’bagus, baik’, maka kesusilaan berarti ’hal-hal yang berkenaan dengan sila yang baik’.
Dalam agama Buddha, sila merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama Buddha. Istilah sila, kosakata Pali, yang digunakan dalam budaya buddhis.

2. Sila Upāsaka-Upāsika
Dalam susunan masyarakat Buddhis terdiri atas kelompok (parisa) yaitu; kelompok masyarakat kevihāraan (bhikkhu-bhikkhuni) dan kelompok masyarakat awam (perumah-tangga). Perbedaan ini didasarkan pada kedudukan sosial mereka masing-masing dan bukan berarti semacam kasta. Agama Buddha tidak menghendaki adanya kasta dalam masyarakat.

2.1. Lima “kekayaan” upāsaka-upāsika   (upāsaka-upāsika Dhamma)
Terdapat lima macam kekayaan (prestasi) bagi upasaka-upasika, antara lain:
2.1.1. Mempunyai keyakinan (saddhā) terhadap Tiratana
2.1.2. Mempunyai kesucian kemoralan (sila)
2.1.3. Tidak percaya akan perbuatan tahyul dan kabar angin atau desas-desus yang belum dicek kebenarannya
2.1.4. Tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma.
2.1.5. Berbuat kebaikan sesuai dengan Dhamma.

2.2. Hiri dan Ottappa
Hiri adalah perasaan malu melakukan perbuatan jahat, sedangkan ottappa adanya perasaan takut terhadap akibat perbuatan jahat yang dapat ia lakukan. Dua macam Dhamma itu juga dikatakan sebagai pelindung dunia, artinya bila manusia memiliki perasaan malu (hiri) dan perasaan takut (ottapa) untuk melakukan perbuatan jahat, maka dunia akan menjadi damai, tenang, dan tidak akan terjadi kejahatan-kejahatan yang dapat merugikan mahkluk hidup itu sendiri.

2.3. Pancasila, Atthasila
Upasaka-upasika, adalah siswa yang dekat dengan guru dan menggunakan jubah putih. Mereka hidupnya melaksanakan lima aturan kemoralan (sila) dan dapat melatih delapan kemoralan (sila) karena dengan melatih lima kemoralan (sila) tersebut. Mereka yang melatih diri dan melengkapi hidupnya dengan aturan-aturan kemoralan, maka akan berakibat terlahir di alam bahagia (surga), bila melatih lima kemoralan (sila) dengan sungguh-sungguh akan berakibat memperoleh kebahagiaan, kemakmuran, kedamaian dan kesejahteraan, dalam kehidupan sekarang ini. Dan, bila melatih lima atau delapan kemoralan dengan sungguh-sungguh mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari dan dengan sempurna, sempurna pula kebajikan (paramita) maka akan berakibat mencapai pembebasan dari derita (dukkha) dan dapat meraih kebahagiaan tertinggi Nibbanna. Nibbanaæ Paramaæ Sukhaæ; artinya, kebahagiaan yang tertinggi adalah kebahagiaan dimana mencapai kondisi batin yang telah merealisir Nibbanna.

3. Pancasila-Pancadhamma
Seorang upasika-upasika hendaknya melatih lima sila Pancasila-Budddhis dan sekaligus melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini, lima macam Dhamma yang bagus, yang merupakan bahan untuk mentaati pancasila buddhis, yaitu:
1. Mettā-Karunā: cinta-kasih dan belas kasihan. Dhamma pertama ini sama dengan sila pertama pancasila.
2. Sammā-Âjiva: Pencaharian benar, Dhamma kedua ini sama dengan sila kedua dari pancasila.
3. Kāmasaævara: penahanan diri terhadap nafsu inderia. Dhamma ketiga ini sama dengan sila ketiga pancasila.
4. Sacca: kebenaran, yaitu benar dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Dhamma keempat ini sama dengan sila keempat dari pancasila.
5. Sati-sampajañña: kesadaran benar. Dhamma kelima ini sama dengan sila kelima dari pancasila.

4. Sigalovada Suttanta, merupakan sutta yang tergolong sangat populer dikalangan masyarakat buddhis, karena menguraikan  tuntunan hidup manusia sebagaimana seharusnya, upasaka-upasika itu memiliki kewajiban yang komplek; baik kepada orang tua, guru-gurunya, siswa-siswanya, suami-isteri, pegawai atau pekerja bawahannya. Juga, kewajiban pada pemerintah, bangsa dan negara. Kewajiban tersebut bersifat timbal balik, saling mendukung membawa pada kebajikan dan kebahagiaan hidup sebagai bagian dari orang banyak.

5. Vyagghapajja-Sutta
Suttanta, merupakan sutta yang menguraikan bagaimana seharusnya upasaka-upasika meniti kehidupan dan meraih kebahagiaan dalam jalan kebenaran, kebajikan sesuai ajaran Dhamma. Ada empat macam Dhamma yang menimbulkan kebahagiaan dan berguna pada saat ini, antara lain:
5.1. Rajin.  Bekerja dengan ahli dan rajin, tidak membiarkan pekerjaan lewat atau mengakitbatkan banyak kerugian, kemerosotan dalam prestasi kerja. Sebaliknya, rajin dalam bekerja sehingga mencapai keberhasilan dan kemakmuran dalam hidup.
5.2.  Berhati-hati menjaga harta tidak membiarkan hilang, dicuri, atau digunakan untuk berfoya-foya sehingga harta atau prestasinya menjadi merosot dan mengalami kehancuran.
5.3. Memiliki sahabat-sahabat yang baik. Sahabat yang baik atau sahabat yang berhati jahat sangat mempengaruhi hidup seseorang. Banyak orang mengalami kehancuran akibat bergaul dan bersahabat dengan orang-orang jahat.
5.4.  Cara hidup yang seimbang. Jika, menggunakan materi melebihi pendapatan sebagai akibatnya akan mengalami masalah serius yaitu kehancuran ekonomi.

Sedangkan cara-cara yang dapat menambah kebahagiaan, untuk masa akan datang menurut Ajaran Sang Buddha, antara lain:
1. Memiliki keyakinan
2. Memiliki kemoralan
3. Memiliki kemurahan hati
4. Memiliki kebijaksanaan.

Demikian, hendaknya dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penyusun kurikulum yang diharapkan dapat bermanfaat bagi guru-guru dan para pembina dalam pembinaan, di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, organisasi, masyarakat luas, yang masih dalam tahapan pembelajaran demi meningkatkan kualitas keyakinan terhadap Ajaran Sang  Buddha hubungannya dengan praktek kebajikan moral, etik, atau kesusilaan.

(Oleh: B. Subhapañño Thera, disampaikan pada penataran guru-guru dan pengajar sekolah minggu se-kaltim, tgl.
11 April 2007)

Daftar Pustaka:
Dhammavisarada Pandita Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya,
Penerbit Buddhis Bodhi, Jakarta 1997
Dhammananda Sri, What Buddhists Believe, Buddhist Missioary Society, Kuala Lumpur, Malaysia 1983
–   Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha mazab Theravada di Indonesia, Yayasan Dhammadipa
Arama, Jakarta 1992
Panjika, Kamus Buddha Dharma, Pali-Sansekerta-Indonesia, Tri
Satya Buddhis Center, Jakarta 2004